nisfu sya'ban

teringat perkataan para sahabat aktivis dakwah, jika mendapatkan suatu ilmu maka jangan langsung mengimplikasikannya didalam kehidupan melainkan disaring terlebih dahulu terkecuali telat terdapat didalam al-qur'an dan hadist.
ADA APA DENGAN BULAN SYA'BAN

Setelah menyampaikan kalimat pembuka, beliau mengatakan : Amma ba'du, berikut ini uraian singkat tentang beberapa masalah yang berkait dengan bulan Sya'ban.

Pertama, Tentang Keutamaan Puasa Bulan Sya'ban
Kedua, Tentang Puasa Nisfu (Pertengahan) Sya'ban
Ketiga, Tentang Keutamaan Malam Nisfu Sya'ban
Keempat, Tentang Shalat Pada Malam Nisfu Sya'ban
Kelima. Tersebar Kabar Di Masyarakat Bahwa Pada Malam Nisfu Sya'ban Itu Ditentukan Apa Yang Akan Terjadi Tahun Itu
Keenam. Ada Sebagian Orang Membuat Makanan Pada Hari Nisfu Sya'ban Dan Membagikannya Kepada Fakir Miskin
Pertama, Tentang Keutamaan Puasa Bulan Sya'ban


Dalam shahih Bukhari dan Muslim, diriwayatkan bahwa Aisyah رضي الله عنها menceritakan:
"Aku tidak pernah melihat Rasulullah صلي الله عليه وسلم puasa satu bulan penuh kecuali pada bulan Ramadhan dan aku tidak pernah melihat beliau puasa lebih banyak dalam sebulan dibandingkan dengan puasa beliau صلي الله عليه وسلم pada bulan Sya'ban.”
Dalam riwayat Bukhari, ada riwayat lain:
"Beliau صلي الله عليه وسلم berpuasa penuh pada bulan Syaban.”
Dalam riwayat lain Imam Muslim:
"Beliau صلي الله عليه وسلم berpuasa pada bulan Sya'ban kecuali sedikit."
Imam Ahmad dan Nasa'i meriwayatkan sebuat hadits dari Usamah bin Zaid , beliau رضي الله عنهما mengatakan,
"Rasulullah tidak pernah berpuasa dalam sebulan sebagaimana beliau صلي الله عليه وسلم berpuasa pada bulan Sya'ban. Lalu ada yang berkata, 'Aku tidak pernah melihat anda berpuasa sebagaimana anda berpuasa pada bulan Syaban.' Rasulullah صلي الله عليه وسلم menjawab: “Banyak orang melalaikannya antara Rajab dan Ramadhan. Padahal pada bulan itu, amalan-amalan makhluk diangkat kehadirat Rabbul Alamin, maka saya ingin amalan saya diangkat saat saya sedang puasa”
Kedua, Tentang Puasa Nisfu (Pertengahan) Sya'ban

Ibnu Rajab رحمه الله menyebutkan dalam al-Latha'if, (hlm. 143, cet. Dar Ihya' Kutubil Arabiyah) dalam Sunan Ibnu Majah dengan sanad yang lemah dari 'Ali رضي الله عنه bahwa Nabi صلي الله عليه وسلم bersabda, "Jika malam nisfu Sya'ban, maka shalatlah di malam harinya dan berpuasalah pada siangnya. Karena Allah turun pada saat matahari tenggelam, lalu berfirman, "Adakah orang yang memohon ampun lalu akan saya ampuni? adakah yang memohon rizki lalu akan saya beri ? ..."
Saya mengatakan, "Hadits ini telah dihukumi sebagai hadits palsu oleh penulis kitab al Mannar. Beliau mengatakan (Majmu' Fatawa beliau 5/622), 'Yang benar, hadits itu maudhu' (palsu), karena dalam sanadnya terdapat Abu Bakr, Abdullah bin Muhammad, yang dikenal dengan sebutan Ibnu Abi Bisrah. Imam Ahmad رحمه الله dan Yahya bin Ma'in رحمه الله mengatakan, 'Orang ini pernah memalsukan hadits."
Berdasarkan penjelasan ini, maka puasa khusus pada pertengahan Sya'ban itu bukan amalan sunat. Karena berdasarkan kesepakatan para ulama', hukum syari'at tidak bisa ditetapkan dengan hadits-hadits yang derajatnya berkisar antara lemah dan palsu. Kecuali kalau kelemahan ini bisa tertutupi dengan banyaknya jalur periwayatan dan riwayat-riwayat pendukung, sehingga hadits ini bisa naik derajatnya menjadi Hadits Hasan Lighairi. Dan ketika itu boleh dijadikan landasan untuk beramal kecuali kalau isinya mungkar atau syadz (nyeleneh).

Ketiga, Tentang Keutamaan Malam Nisfu Sya'ban

Ada beberapa riwayat yang dikomentari sendiri oleh Ibnu Rajab رحمه الله setelah membawakannya bahwa riwayat-riwayat ini masih diperselisihkan. Kebanyakan para ulama menilainya lemah sementara Ibnu Hibban menilai sebagiannya shahih dan beliau membawakannya dalam shahih Ibnu Hibban. Diantara contohnya, dalam sebuah riwayat dari Aisyah رضي الله عنها, "Sesungguhnya Allah akan turun ke langit dunia pada malam nisfu Sya'ban lalu Allah memberikan ampunan kepada (manusia yang jumlahnya) lebih dari jumlah bulu kambing-kambing milik Bani Kalb." Hadits ini dibawakan oleh Imam Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Majah. Tirmidzi menyebutkan bahwa Imam Bukhari menilai hadits ini lemah. Kemudian Ibnu Rajab menyebutkan beberapa hadits yang semakna dengan ini seraya mengatakan, "Dalam bab ini terdapat beberapa hadits lainnya namun memiliki kelemahan. "
As-Syaukani رحمه الله menyebutkan bahwa dalam riwayat Aisyah رضي الله عنها tersebut ada kelemahan dan sanadnya terputus. Syaikh Bin Baz رحمه الله menyebutkan bahwa ada beberapa hadits lemah yang tidak bisa dijadikan pedoman tentang keutamaan malam nisfu Sya'ban.

Keempat, Tentang Shalat Pada Malam Nisfu Sya'ban

Untuk masalah ini ada tiga tingkatan:
Tingkatan pertama, shalat yang dikerjakan oleh orang yang terbiasa melakukannya diluar malam nisfu Sya'ban. Seperti orang yang terbiasa melakukan shalat malam. Jika orang ini melakukan shalat malam yang biasa dilakukannya diluar malam nisfu Sya'ban pada malam nisfu Sya'ban tanpa memberikan tambahan khusus dan dengan tanpa ada keyakinan bahwa malam ini memiliki keistimewaan, maka shalat yang dikerjakan orang ini tidak apa-apa. Karena ia tidak membuat-buat suatu yang baru dalam agama Allah.

Tingkatan kedua, shalat yang khusus dikerjakan pada malam nisfu Sya'ban. Ini termasuk bid'ah. Karena tidak ada riwayat dari Nabi صلي الله عليه وسلم yang menyatakan Nabi صلي الله عليه وسلم memerintahkan, atau mengerjakannya begitu juga dengan para shahabatnya. Adapun hadits Ali صلي الله عليه وسلم yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah , "Jika malam nisfu Sya'ban, maka shalatlah di malam harinya dan berpuasalah pada siangnya." Diatas sudah dijelaskan bahwa Ibnu Rajab رحمه الله menilainya lemah, sementara Rasyid Ridha رحمه الله menilainya palsu. Hadits seperti ini tidak bisa dijadikan sandaran untuk menetapkan hukum syar'i. Para Ulama memberikan toleran dalam masalah beramal dengan hadits lemah dalam masalah fadhailul a'mal, tapi itupun dengan beberapa syarat yang harus terpenuhi, diantaranya, (syarat pertama) kelemahan hadits itu tidak parah. Sementara kelemahan hadits (tentang shalat nisfu Sya'ban) ini sangat parah. Karena diantara perawinya ada orang yang pernah memalsukan hadits, sebagaimana kami nukilkan dari Muhammad Rasyid Ridha. (syarat kedua), hadits yang lemah itu menjelaskan suatu yang ada dasarnya. Misalnya, ada ibadah yang ada dasarnya lalu ada hadits-hadits lemah yang menjelaskannya sementara kelemahannya tidak parah, maka hadits-hadits lemah ini bisa memberikan tambahan motivasi untuk melakukannya, dengan mengharapkan pahala yang disebutkan tanpa meyakininya sepenuh hati. Artinya, jika benar, maka itu kebaikan bagi yang melakukannya, sedangkan jika tidak benar, maka itu tidak membahayakannya karena ada dalil lain yang dijadikan landasan utama. Dan sebagaimana sudah diketahui bahwa dalam dalil yang memerintahkan untuk menunaikan shalat nisfu Sya'ban, syarat-syarat ini tidak terpenuhi. Karena perintah ini tidak memiliki dalil yang shahih dari Nabi صلي الله عليه وسلم sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Rajab dan yang lainnya. Dalam al-Lathaif (hlm. 145) Ibnu Rajab mengatakan, "Begitu juga tentang shalat malam pada malam nisfu Sya'ban, tidak ada satu dalil sahih pun dari Nabi صلي الله عليه وسلم maupun dari shahabat. Muhammad Rasyid Ridha mengatakan, "Allah سبحانه و تعالي tidak mensyari'atkan bagi kaum Mukminin satu amalan khusus pun pada malam nisfu Sya'ban ini, tidak melalui kitabullah, ataupun melalui lisan Rasulullah صلي الله عليه وسلم juga tidak melalui sunnah beliau صلي الله عليه وسلم."
Syaikh Bin Baz رحمه الله mengatakan, "Semua riwayat yang menerangkan keutamaan shalat malam nisfu Sya'ban adalah riwayat palsu."
Keterangan terbaik tentang shalat malam nisfu Sya'ban yaitu perbuatan sebagian tabi'in, sebagaimana penjelasan Ibnu Rajab dalam al-Lathaif (him. 144), "Malam nisfu Sya'ban diagungkan oleh tabi'in dari Syam. Mereka bersungguh-sungguh melakukan ibadah pada malam itu. Dari mereka inilah, keutamaan dan pengagungan malam ini diambil. Ada yang mengatakan,, 'Riwayat yang sampai kepada mereka tentang malam nisfu Sya'ban itu adalah riwayat-riwayat isra'iliyyat.' Ketika kabar ini tersebar diseluruh negeri, manusia mulai berselisih pendapat, ada yang menerimanya dan sependapat untuk mengagungkan malam nisfu Sya'ban, sedangkan Ulama Hijaz mengingkarinya. Mereka mengatakan, 'Semua itu perbuatan bid'ah.'
Tidak diragukan lagi, pendapat ulama Hijaz ini adalah pendapat yang benar. Karena Allah berfirman:
"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu." (Qs al-Maidah/5:3).
Seandainya shalat malam nisfu Sya'ban itu bagian dari agama Allah, tentu Allah سبحانه و تعالي jelaskan dalam kitab-Nya, atau dijelaskan oleh Rasulullah صلي الله عليه وسلم melalui ucapan maupun perbuatannya صلي الله عليه وسلم. Ketika keterangan itu tidak ada, itu berarti shalat khusus ini bukan bagian dari agama Allah عزّوجلّ. Semua (ibadah) yang bukan bagian dari agama Allah سبحانه و تعالي adalah bid'ah, sementara ada dalil shahih dari nabi صلي الله عليه وسلم, bahwa beliau صلي الله عليه وسلم bersabda:
"Semua bid'ah itu sesat." (HR. Muslim)

Tingkatan ketiga, dikerjakan malam itu satu shalat khusus dengan jumlah tertentu dan ini dilakukan tiap tahun. Maka ini lebih parah daripada tingkatan kedua dan lebih jauh dari sunnah. Riwayat-riwayat yang menjelaskan keutamaannya adalah hadits palsu. As-Syaukani mengatakan (al-Fawaidul Majmu'ah, hlm. 15), "Semua riwayat tentang shalat malam nisfu Sya'ban ini adalah riwayat bathil dan palsu."

Kelima. Tersebar Kabar Di Masyarakat Bahwa Pada Malam Nisfu Sya'ban Itu Ditentukan Apa Yang Akan Terjadi Tahun Itu

Ini kabar yang bathil. Malam penentuan takdir kejadian selama setahun itu yaitu pada malam qadar (lailatul Qadar). Allah berfirman:
"Haa miim. Demi Kitab (al Qur'an) yang menjelaskan. Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah. (Qs ad-Dukhan/44:1-4).
Malam diturunkannya al-Qur'an adalah lailatul qadar. Allah berfirman:
"Sesungguhnya kami telah menurunkannya (al-Quran) pada malam kemuliaan. (Qs al-Qadr/97:1)
yaitu pada bulan Ramadhan. Karena Allah عزّوجلّ menurunkan al-Qur'an pada bulan itu. Allah عزّوجلّ berfirman:
"Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al Qur'an." (Qs al-Baqarah/2:185)
Orang yang mengira bahwa malam nisfu Sya'ban merupakan waktu Allah عزّوجلّ menentukan apa yang akan terjadi dalam tahun itu berarti dia telah menyelisihi kandungan al-Qur'an.

Keenam. Ada Sebagian Orang Membuat Makanan Pada Hari Nisfu Sya'ban Dan Membagikannya Kepada Fakir Miskin
Ini yang mereka namakan 'asyiyatul walidain. Perbuatan ini juga tidak ada dasarnya dari Nabi صلي الله عليه وسلم. Sehingga mengkhususkan amalan ini pada nisfu Sya'ban termasuk amalan bid'ah yang telah diperingatkan oleh Rasulullah صلي الله عليه وسلم dengan sabda beliau صلي الله عليه وسلم:
"Semua bid'ah itu sesat." (HR. Muslim)
Ketahuilah, orang yang membuat kebid'ahan dalam agama Allah عزّوجلّ ini berarti dia telah terjerumus dalam beberapa larangan :

a. Perbuatannya menyiratkan pendustaan terhadap kandungan firman Allah عزّوجلّ:
"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu." (Qs al-Maidah/5:3).
Karena apa yang dibuat-buat ini dan diyakini sebagai bagian dari
agama ini tidak termasuk agama ketika agama ini diturunkan. Dengan demikian, ditinjau dari kebid'ahan ini berarti agama itu belum sempurna (sehingga perlu disempurnakan-red)

b. Membuat-buat suatu yang baru menyiratkan kelancangan terhadap Allah dan RasulNya.

c. Orang yang membuat-buat suatu yang baru berarti ia memposisikan dirinya sama dengan Allah عزّوجلّ dalam menghukumi manusia. Allah berfirman, yang artinya:
"Apakah mereka mempunyai sembahan- sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah ?" (Qs-as-Syuura/42:21)
d. Membuat-buat suatu baru berkonsekuensi satu diantara dua. Yang pertama, Nabi صلي الله عليه وسلم tidak tahu bahwa amalan ini bagian dari agama dan kedua, Nabi tahu namun beliau صلي الله عليه وسلم menyembunyikannya. Kedua anggapan ini adalah celaan kepada Nabi صلي الله عليه وسلم karena yang pertama menuduh beliau صلي الله عليه وسلم tidak tahu syari'at dan kedua menuduh beliau menyembunyikan bagian dari agama Allah yang beliau صلي الله عليه وسلم ketahui.

e. kebid'ahan menyebabkan manusia berani terhadap syari'at Allah عزّوجلّ. Ini sangat dilarang oleh Allah عزّوجلّ.

f. Kebid'ahan ini akan memecah belah umat. Karena masing-masing membuat manhaj sendiri dan menuduh yang lain masih kurang. Ini akan menyeret umat kedalam apa yang dilarang Allah
dalam firmanNya:
"Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-
berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka, mereka Itulah orang- orang yang mendapat siksa yang berat, (Qs Ali lmran/3:105) dan dalam firman-Nya:
" Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi bergolong- golong, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat." (Qs al-An'am/6:159)
g. Kebid'ahan ini membuat pelakunya tersibukkan sehingga meninggalkan suatu yang disyariatkan. Para pembuat bid'ah itu, tidaklah membuat suatu kebid'ahan kecuali pada saat yang sama dia telah menghancurkan syariat yang sepadan dengannya.

Sesungguhnya apa yang tercantum dalam kitabullah dan sunnah yang shahih itu sudah cukup bagi orang-orang yang mendapat hidayah dari Allah سبحانه و تعالي. Allah سبحانه و تعالي berfirman:
"Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabb kalian dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. Katakanlah, "Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah mereka bergembira dengannya, karunia Allah dan rahmat-Nya itu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan". (Qs Yunus/10:57-58)
dan firman­Nya:
"Barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka." (Qs Thaha/20:123)

Akhirnya saya memohon kepada Allah عزّوجلّ agar senantiasa memberikan petunjuk kepada kita dan kepada saudara-saudara kita kaum Muslimin menuju shiratul mustaqim dan saya memohon kepada Allah عزّوجلّ agar senantiasa menolong kita di dunia dan akhirat. Sesungguhnya Allah عزّوجلّ Maha Dermawan dan Maha Pemurah.

Hukum Menyiapkan Makanan Pada Tanggal Dua Puluh Tujuh Rajab, Nisyfu Sya'ban Dan Hari Asyura

Pertanyaan:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Kami memiliki banyak kebiasaan yang kami warisi (dari orang tua kami) dalam hal perayaan pada waktu-waktu tertentu, seperti : membuat kue-kue dan biscuit ketika hari raya Idul Fithri, menyiapkan makanan dan buah-buahan pada malam dua puluh tujuh bulan Rajab atau pada malam pertengahan Syaban, serta beberapa jenis makanan pada hari raya Asy-Syura. Apa hukumnya menurut syariat?

Jawaban:
Menunjukkan kebahagian dan kesenangan pada hari raya Idul Fithri dan Idul Adha tidak apa-apa bila masih dalam batas-batas syariat. Misalnya kedatangan orang-orang untuk makan-makan dan minum-minum atau yang sejenisnya, berdasarkan dalil dari Rasulullah صلی الله عليه وسلم bahwasanya beliau bersabda:
“Hari-hari Tasyrik adalah hari makan, minum dan dzikir kepada Allah”. (HR. Muslim dan lainnya)

Yaitu pada tiga hari setelah hari raya Idul Adha, yang pada saat itu manusia menyembelih binatang dan memakan dagingnya serta menikmati rizki yang diberikan oleh Allah. Demikian pula pada hari raya Idul Fithri, tidak dilarang untuk menunjukkan kegembiraan dan kesenangan selama tidak melewati batas yang ditetapkan syariat.
Adapun merayakan hari kedua puluh tujuh bulan Rajab atau malam pertengahan bulan Syaban atau hari Asyura, perbuatan itu tidak ada dasarnya sama sekali, bahkan terlarang. Bagi setiap muslim tidak wajib hukumnya untuk menghadiri perayaan semacam itu apabila diundang.
Rasulullah صلی الله عليه وسلم telah bersabda: 
“Hendaklah kalian menghindari perkara baru dalam agama, karena setiap perkara baru dalam agama adalah bidah dan setiap bidah adalah sesat.”
Malam kedua puluh tujuh bulan Syaban dikira banyak orang sebagai malam di mana Rasulullah صلی الله عليه وسلم di mirajkan oleh Allah. Ini semua tidak ada dasarnya menurut sejarah. Setiap yang tidak berdasar adalah bathil, dan semua yang didasarkan kepada kebathilan adalah bathil. Meski misalnya peristiwa itu terjadi pada malam dua puluh tujuh, maka tetap saja tidak boleh bagi kita untuk menjadikannya sebagai perayaan atau bentuk ibadah, karena hal itu tidak pernah ditetapkan oleh Nabi صلی الله عليه وسلم maupun para sahabatnya, padahal mereka adalah manusia yang paling gemar mengikuti sunnahnya dan melaksanakan syariatnya. Bagaimana mungkin diperbolehkan bagi kita untuk menetapkan apa yang tidak pernah ada pada zaman Nabi صلی الله عليه وسلم maupun pada zaman sahabat ?
Demikian juga malam nisfu Syaban, tidak ada ketetapan dari Nabi صلی الله عليه وسلم untuk merayakan atau mengagungkannya. Akan tetapi yang ada adalah menghidupkannya dengan dzikir dan shalat, tidak dengan makan-makan, bersuka cita atau merayakannya. Sedangkan pada hari Asyura, Nabi صلی الله عليه وسلم ditanya tentang puasa pada hari itu, beliau mengatakan bahwa puasa pada hari itu menghapus dosa-dosa setahun yang lalu. Tidak diperbolehkan pada hari tersebut untuk mengadakan semacam perayaan atau menunjukkan kesedihan, karena bersenang-senang maupun menunjukkan kesedihan pada hari ini bertentangan dengan sunnah. Tidak ada riwayat dari Nabi selain untuk mengerjakan puasa pada hari itu, juga diperintahkan untuk berpuasa sehari sebelumnya atau setelahnya untuk menyelisihi apa yang dilaksanakan oleh orang-orang Yahudi yang berpuasa pada hari itu saja

Syaikh Al-Imam Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin 

Hukum Upacara Peringatan Malam Nisfi Sya'ban

Senin, 7 Juni 2004 16:12:08 WIB
HUKUM UPACARA PERINGATAN MALAM NISFI SYA'BAN

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz


Segala puji hanyalah bagi Allah yang telah menyempurnakan agama-Nya bagi kita, dan mencukupkan nikmat-Nya kepada kita, semoga shalawat dan salam selalu dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam pengajak ke pintu tobat dan pembawa rahmat.

Amma ba'du:

Sesungguhnya Allah telah berfirman:

"Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridhoi Islam sebagai agama bagimu." [Al-Maidah :3]

"Artinya : Apakah mereka mempunyai sesembahan-sesembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diridhoi Allah? Sekirannya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka sudah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu akan memperoleh adzab yang pedih." [Asy-Syura' : 21]

Dari Aisyah radhiallahu 'anha dari Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda, "Barangsiapa mengada-adakan suatu perkara (dalam agama) yang sebelumnya belum pernah ada, maka ia tertolak."

Dalam lafazh Muslim: "Barangsiapa mengerjakan perbuatan yang tidak kami perintahkan (dalam agama), maka ia tertolak."

Dalam Shahih Muslim dari Jabir radhiallahu 'anhu bahwasanya Nabi pernah bersabda dalam khutbah Jum'at: Amma ba'du, sesungguhnya sebaik- baik perkataan adalah Kitab Allah (Al-Qur'an), dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam, dan sejahat-jahat perbuatan (dalam agama) ialah yang diada-adakan, dan setiap bid'ah (yang diada-adakan) itu adalah sesat."

Masih banyak lagi hadits-hadits yang senada dengan hadits ini, hal mana semuanya menunjukkan dengan jelas, bahwasanya Allah telah menyempurnakan agama ini untuk umat-Nya. Dia telah mencukupkan nikmat- Nya bagi mereka; Dia tidak mewafatkan Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam kecuali sesudah beliau menyelesaikan tugas penyampaian risalahnya kepada umat dan menjelaskan kepada mereka seluruh syariat Allah, baik melalui ucapan maupun pengamalan. Beliau menjelaskan segala sesuatu yang akan diada-adakan oleh sekelompok manusia sepeninggalnya dan dinisbahkan kepada ajaran Islam baik berupa ucapan maupun perbuatan, semuanya itu bid'ah yang tertolak, meskipun niatnya baik. Para shahabat dan ulama' mengetahui hal ini, maka mengingkari perbuatan-perbuatan bid'ah dan memperingatkan kita darinya. Hal itu disebutkan oleh mereka yang mengarang tentang pengagungan sunnah dan pengingkaran bid'ah, seperti Ibnu Wadhdhoh Ath Tharthusyi dan Abu Syaamah dan lain sebagainya.

Di antara bid'ah yang biasa dilakukan oleh banyak orang ialah bid'ah mengadakan upacara peringatan malam Nisfu Sya'ban dan mengkhususkan pada hari tersebut dengan puasa tertentu. Padahal tidak ada satupun dalil yang dapat dijadikan sandaran, ada hadist-hadits tentang fadhilah malam tersebut tetapi hadits-hadits tersebut dlaif sehingga tidak dapat dijadikan landasan. Adapun hadits-hadits yang berkenaan dengan keutamaan shalat pada hari itu adalah maudhu'.

Dalam hal ini, banyak di antara para 'ulama yang menyebutkan tentang lemahnya hadits-hadits yang berkenaan dengan pengkhususan puasa dan fadhilah shalat pada hari Nisfu Sya'ban, selanjutnya akan kami sebutkan sebagian dari ucapan mereka. Pendapat para ahli Syam di antaranya Hafizh Ibnu Rajab dalam bukunya "Lathaiful Ma'arif" mengatakan bahwa perayaan malam Nisfu Sya'ban adalah bid'ah dan hadits-hadits yang menerangkan keutamaannya lemah. Hadits-hadits lemah bisa diamalkan dalam ibadah jika asalnya didukung oleh hadits-hadits shahih, sedangkan upacara perayaan malam Nisfu Sya'ban tidak ada dasar hadits yang shahih sehingga tidak bisa didukung dengan dalil hadits- hadits dhaif.

Ibnu Taimiyah telah menyebutkan kaidah ini dan kami akan menukil pendapat para ahli ilmu kepada sidang pembaca sehingga masalahnya menjadi jelas; para ulama' telah bersepakat bahwa merupakan suatu keharusan untuk mengembalikan segala apa yang diperselisihkan manusia kepada Kitab Allah (Al-Qur'an) dan Sunnan Rasul (Al-Hadits), apa saja yang telah digariskan hukumnya oleh keduanya atau salah satu daripadanya, maka wajib diikuti dan apa saja yang bertentangan dengan keduanya maka harus ditinggalkan, serta segala sesuatu amalan ibadah yang belum pernah disebutkan adalah bid'ah; tidak boleh dikerjakan apabila mengajak untuk mengerjakannya atau memujinya.

Allah berfirman dalam surat An-Nisaa':

"Artinya : Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan Ulil Amri (pemimpin-pemimpin) di antara kamu, maka jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." [An-Nisaa': 59]

"Artinya : Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka keputusannya (terserah) kepada Allah (yang mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Tuhanku. Kepada-Nyala aku bertawakkal dan kepada-Nyalah aku kembali." [Asy-Syuraa: 10]

"Artinya : Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa sesuatu keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima sepenuhnya." [An-Nisaa' : 65]

Dan masih banyak lagi ayat-ayat Al-Qur'an yang semakna dengan ayat- ayat di atas, ia merupakan nash atau ketentuan hukum yang mewajibkan agar supaya masalah-masalah yang diperselisihkan itu dikembalikan kepada Al-Qur'an dan Hadits, selain mewajibkan kita agar rela terhadap hukum yang ditetapkan oleh keduanya (Al-Qur'an dan Hadits).

Demikianlah yang dikehendaki oleh Islam, dan merupakan perbuatan baik bagi seorang hamba terhadap Tuhannya, baik di dunia atau di akherat nanti, sehingga pastilah ia akan menerima balasan yang setimpal.

Dalam pembicaraan masalah malam Nisfu Sya'ban Ibnu Rajab berkata dalam bukunya "Lathaiful Ma'arif", "Para Tabi'in dari ahli Syam (Syiria, sekarang) seperti Khalid bin Ma'daan, Makhul, Luqman dan lainnya pernah mengagung-agungkan dan berijtihad melakukan ibadah pada malam Nisfu Sya'ban kemudian orang- orang berikutnya mengambil keutamaan dan pengagungan itu dari mereka.

Dikatakan bahwa mereka melakukan perbuatan demikian itu karena adanya cerita-cerita israiliyat, tatkala masalah itu tersebar ke penjuru dunia, berselisihlah kaum muslimin; ada yang menerima dan menyetujuinya ada juga yang mengingkarinya. Golongan yang menerima adalah Ahli Bashrah dan lainyya seang golongan yang mengingkarinya adalah mayoritas ulama Hijaz (Saudi Arabia, sekarang), seperti Atha' dan Ibnu Abi Malikah dan dinukil oleh Abdurrahman bin Zaid bi Aslam dari fuqaha' Madinah, yaitu ucapan Ashhabu Malik dan lain-lainnya. Mereka mengatakan bahwa semua perbuatan itu bid'ah. Adapun pendapat ulama' ahli Syam berbeda dalam pelaksanaannya dengan dua pendapat:

[1]. Menghidup-hidupkan malam Nisfu Sya'ban dalam masjid dengan berjamah adalah mustahab (disukai Allah). Dahulu Khalid bin Ma'daan dan Luqman bin Amir memperingati malam tersebut dengan memakai pakaian paling baru dan mewah, membakar menyan, memakai celak dan mereka bangun malam menjalankan shalatul lail di masjid. Ini disetujui oleh Ishaq bin Ruhwiyah, ia berkata: "Menjalankan ibadah di masjid pada malam itu secara jamaah tidak bid'ah." Hal ini dicuplik oleh Harbu Al-Kirmany.

[2]. Berkumpulnya manusia pada malam Nisfu Sya'ban di masjid untuk shalat, bercerita dan berdo'a adalah makruh hukumnya, tetapi boleh jika menjalankan shalat khusus untuk dirinya sendiri. Ini pendapat Auza'iy Imam Ahlu Syam, sebagai ahli fiqh dan cendekiawan mereka. Insya Allah pendapat inilah yang mendekati kebenaran, sedangkanpendapat Imam Ahmad tentang malam tentang malam Nisfu Sya'ban ini,tidak diketahui."

Ada dua riwayat sebagai sebab cenderungnya diperingati malam Nisfu Sya'ban, dari antara dua riwayat yang menerangkan tentang dua malam hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha). Dalam satu riwayat berpendapat bahwa memperingati dua malam hari raya dengan berjamaah adalah tidak disunnahkan, karena hal itu belum pernah dikerjakan oleh Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam dan para shahabatnya. Riwayat lain berpendapat bahwa malam tersebut disunnahkan, karena Abdurrahman bin Yazid bin Aswad pernah mengerjakannya, dan ia termasuk tabi'in, begitu pula tentang malam Nisfu Sya'ban, Nabi belum pernah mengerjakannya atau menetapkannya, termasuk juga para sahabat, itu hanya ketetapan dari golongan tabi'in ahli fiqih Syam. Demikian maksud dari Al-Hafizh Ibnu Rajab (semoga Allah melimpahkan rahmat kepadanya).

Ia mengomentari bahwa tidak ada suatu ketetapan pun tentang malam Nisfu Sya'ban ini, baik itu dari Nabi maupun dari para shahabat. Adapun pendapat Imam Auza'iy tentang bolehnya (istihbab) menjalankan shalat pada malam hari itu secara individu dan penukilan Al-Hafizh Ibnu Rajab dalam pendapatnya itu adalah gharib dan dhaif, karena segala perbuatan syariah yang belum pernah ditetapkan oleh dalil-dalil syar'iy, tidak boleh bagi seorang pun dari kaum muslimin mengada- adakannya dalam Islam, baik itu dikerjakan secara individu ataupun kolektif, baik itu dikerjakan secara sembunyi-sembunyi ataupun terang- terangan, sebab keumuman hadits Nabi:

"Barangsiapa mengerjakan suatu amalan (dalam agama) yang tidak kami perintahkan, maka ia tertolak."

Dan banyak lagi hadits-hadits yang mengingkari perbuatan bid'ah dan memperingatkan agar dijauhi.

Imam Abubakar Ath-Thurthusyiy berkata dalam bukunya, "Al-Hawadits wal Bida", "Diriwayatkan oelh Wadhdhah dari Zaid bin Aslam berkata: kami belum pernah melihat seorang pun dari sesepuh dan ahli fiqih kami yang menghadiri perayaan malam Nisfu Sya'ban, tidak mengindahkan hadits Makhul (dhaif) dan tidak pula memandang adanya keutamaan pada malam tersebut terhadap malam-malam lainnya. Dikatakan kepada Ibnu Malikah bahwasanya Ziad An Numairiy berkata: Pahala yang didapat (dari ibadah) pada malam Nisfu Sya'ban menyamai pahala Lailatul Qadar. Ibnu Malikah menjawab: Seandainya saya mendengarnya sedang di tangan saya ada tongkat, pasti saya pukul. Ziad adalah seorang penceramah.

Al-'Allaamah Syaukani menulis dalam bukunya, Al-Fawaaidul Majmu'ah, sebagai berikut: Hadits:

"Wahai Ali, barangsiapa melakukan shalat pada malam Nisfu Sya'ban sebanyak 100 rakaat; ia membaca setiap rakaat Al-Fatihah dan Qul Huwallahu Ahad sebanyak sepuluh kali, pasti Allah memenuhi segala kebutuhannya... dan seterusnya."

Hadits ini adalah maudhu', pada lafazh-lafazhnya menerangkan tentang pahala yang akan diterima oleh pelakunya adalah tidak diragukan kelemahannya bagi orang berakal, sedangkan sanadnya majhul (tidak dikenal). Hadits ini diriwayatkan dari jalan kedua dan ketiga, kesemuanya maudhu' dan perawi-perawinya majhul.

Dalam kitab "Al Mukhtashar" Syaukani melanjutkan : Hadits yang menerangkan shalat Nisfu Sya'ban adalah batil. Ibnu Hibban meriwayatkan hadits dari Ali radhiallahu 'anhu: Jika datang malam Nisfu Sya'ban bershalat malamlah dan berpuasalah pada siang harinya, adalah dhaif. Dalam buku Allaali' diriwayatkan bahwa: Seratus rakaat dengan tulus ikhlas pada malam Nisfu Sya'ban adalah pahalanya sepuluh kali lipat. Hadits riwayat Ad Dailamiy, hadits ini maudhu' tetapi mayoritas perawinya pada jalan ketiga majhul dan dhaif (leman). Imam Syaukani berkata: Hadits yang menerangkan bahwa dua belas rakaat dengan tulus ikhlas pahalanya adalah tiga puluh kali lipat, maudhu'. Dan hadits empat belas rakaat ... dan seterusnya adalah maudhu' (tidakbisa diamalkan dan harus ditinggalkan, pent).

Para fuqaha' banyak tertipu dengan hadits-hadits di atas, seperti pengarang Ihya' Ulumuddin dan lainnya juga sebagian dari mufassirin. Telah diriwayatkan bahwa, shalat pada malam ini, yakni malam Nisfu Sya'ban yang telah tersebar ke seluruh pelosok dunia itu, semuanya adalah bathil/tidak benar dan haditsnya adalah maudhu'.

Anggapan itu tidak bertentangan dengan riwayat Tirmidzi dari hadits Aisyah bahwa Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam pergi ke Baqi' dan Tuhan turun ke langit dunia pada malam Nisfu Sya'ban untuk mengampuni dosa sebanyak jumlah bulu domba dan bulu kambing. Sesungguhnya perkataan tersebut berkisar tentang shalat pada malam itu, tetapi hadits Aisyah ini lemah dan sanadnya munqathi' (terputus) sebagaimana hadits Ali yang telah disebutkan di atas mengenai malam Nisfu Sya'ban, jadi dengan jelas bahwa shalat malam itu juga lemah dasarnya.

Al-Hafizh Al-Iraqi berkata: Hadits (yang menerangkan) tentang shalat Nisfu Sya'ban maudhu' dan pembohongan atas diri Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam. Dalam kitab Al Majmu', Imam Nawawi berkata: Shalat yang sering kita kenal dengan shalat Raghaib ada (berjumlah) dua belas raka'at dikerjakan antara Maghrib dan Isya' pada malam Jum'at pertama bulan Rajab; dan shalat seratus rakaat pada malam Nisfu Sya'ban. Dua shalat itu adalah bid'ah dan mungkar. Tak boleh seseorang terpedaya oleh kedua hadits itu hanya karena telah disebutkan di dalam buku Quutul Quluub dan Ihya' Ulumuddin. Sebab pada dasarnya hadits-hadits tersebut batil (tidak boleh diamalkan). Kita tidak boleh cepat mempercayai orang-orang yang menyamarkan hukum bagi kedua hadits, yaitu dari kalangan Aimmah yang kemudian mengarang lembaran-lembaran untuk membolehkan pengamalan kedua hadits, dengan demikian berarti salah kaprah.

Syaikh Imam Abu Muhammad Abdurrahman Ibnu Ismail al Muqadaasiy telah mengarang sebuah buku yang berharga; Beliau menolak (menganggap batil) kedua hadits (tentang malam Nisfu Sya'ban dan malam Jum'at pertama pada bulan Rajab), ia bersikap (dalam mengungkapkan pendapatnya) dalam buku tersebut, sebaik mungkin. Dalam hal ini telah banyak pengapat para ahli ilmu; maka jika kita hendak memindahkan pendapat mereka itu, akan memperpanjang pembicaraan kita. Semoga apa-apa yang telah kita sebutkan tadi, cukup memuaskan bagi siapa saja yang berkeinginan untuk mendapat sesuatu yang haq.

Dari penjelasan di atas tadi, seperti ayat-ayat Al-Qur'an dan beberapa hadits serta pendapat para ulama, jelaslah bagi pencari kebenaran (haq) bahwa peringatan malam Nisfu Sya'ban dengan pengkhususan shalat atau lainnya, dan pengkhususan siang harinya dengan puasa; itu semua adalah bid'ah dan mungkar tidak ada dasar sandarannya dalam syariat ini (Islam), bahkan hanya merupakan pengada-adaan saja dalam Islam setelah masa hidupnya para shahabat radhiallahu 'anhu. Marilah kita hayati ayat Al-Qur'an di bawah:

"Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridhoi Islam sebagai agama bagimu."[Al-Maidah : 3]

Dan banyak lagi ayat-ayat lain yang semakna dengan ayat di atas. Selanjutnya Nabi shalallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa mengada-adakan sesuatu perkara dalam agama (sepeninggalku), yang sebelumnya belum pernah ada, maka ia tertolak."

Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah pernah bersabda: "Janganlah kamu sekalian mengkhususkan malam Jum'at daripada malam-malam lainnya dengan suatu shalat, dan janganlah kamu sekalian mengkhususkan siang hariny autk berpuasa daripada hari-hari lainnya, kecuali jika (sebelumnya) hari itu telah berpuasa seseorang di antara kamu." [Hadits Riwayat. Muslim]

Seandainya pengkhususan suatu malam dengan ibadah tertentu itu dibolehkan oleh Allah, maka bukanlah malam Jum'at itu lebih baik daripada malam-malam lainnya, karena pada hari itu adalah sebaik-baik hari yang disinari matahari? Hal ini berdasarkan hadits-hadits
Rasulullah yang shahih.

Tatkala Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam melarang untuk mengkhususkan shalat pada malam hari itu daripada malam lainnya, hal itu menunjukkan bahwa pada malam lain pun lebih tidak boleh dikhususkan dengan ibadah tertentu, kecuali jika ada dalil shahih yang mengkhususkannya/menunjukkan atas kekhususannya. Menakala malam Lailatul Qadar dan malam-malam blan puasa itu disyariatkan supaya shalat dan bersungguh-sungguh dengan ibadah tertentu. Nabi mengingatkan dan menganjurkan kepada umatnya agar supaya melaksanakannya, beliau pun juga mengerjakannya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih dari Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi
wasallam, bahwasanya beliau bersabda:

"Artinya : Barangsiapa berdiri (melakukan shalat) pada bulan Ramadhan dengan penuh rasa iman dan harapan (pahala), niscaya Allah akan mengampuni dosanya yang telah lewat. Dan barangsiapa berdiri (melakukan shalat) pada malam Lailatul Qadar dengan penuh rasa iman dan harapan (pahala), niscaya Allah akan mengampuni dosanya yang telah lewat." [Muttafaqun 'alaih]

Jika seandainya malam Nisfu Sya'ban, malam Jum'at pertama pada bulan Rajab, serta malam Isra' Mi'raj diperintahkan untuk dikhususkan dengan upacara atau ibadah tentang, pastilah Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam menunjukkan kepada umatnya atau beliau menjalankannya sendiri. Jika memang hal itu pernah terjadi, niscaya telah disampaikan oleh para shahabat kepada kita; mereka tidak akan menyembunyikannya, karena mereka adalah sebaik-baik manusia dan yang paling banyak memberi nasehat setelah para nabi.

Dari pendapat-pendapat ulama' tadi anda dapat menyimpulkan bahwasanya tidak ada ketentuan apapun dari Rasulullah ataupun dari para shahabat tentang keutamaan malam Nisfu Sya'ban dan malam Jum'at pertama pada bulan Rajab. Dari sini kita tahu bahwa memperingati perayaan kedua malam tersebut adalah bid'ah yang diada-adakan dalam Islam, begitu pula pengkhususan dengan ibadah tentang adalah bid'ah mungkar; sama halnya dengan malam 27 Rajab yang banyak diyakini orang sebagai malam Isra' dan Mi'raj, begitu juga tidak boleh dikhususkan dengan ibadah- ibadah tertentu selain tidak boleh dirayakan dengan ibadah-ibadah tertentu selain tidak boleh dirayakan dengan upacara-upacara ritual, berdasarkan dalil-dalil yang disebutkan tadi.

Demikianlah, maka jika anda sekalian sudah mengetahui, bagaimana sekarang pendapat anda? Yang benar adalah pendapat para ulama' yang menandaskan tidak diketahuinya malam Isra' dan Mi'raj secara tepat. Omongan orang bahwa malam Isra dan Mi'raj itu jatuh pada tanggal 27 Rajab adalah batil, tidak berdasarkan pada hadits-hadits shahih. Maka benar orang yang mengatakan;

"Dan sebaik-baik suatu perkara adalah yang telah dikerjakan oleh para salaf, yang telah mendapat petunjuk. Dan sehina-hina perkara (dalam agama), yaitu perkara yang diada-adakan berupa bid'ah-bid'ah."

Allahlah yang bertanggung jawab untuk melimpahkan taufiq-Nya kepada kita dan kaum muslimin semua, taufiq untuk tetap berpegang teguh dengan sunnah dan konsisten di atasnya, serta waspada terhadap hal-hal yang bertentangan dengannya, karena hanya Allah yang terbaik dan termulia.

Semoga shalawat dan salam selalu dilimpahkan kepada hamba-nya dan Rasul-Nya Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam begitu pula atas keluarga dan para shahabat beliau. Amiin.

[Disalin dari kitab Waspada Terhadap Bid'ah Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Penerjemah Farid Ahmad Oqbah, Riyadh: Ar-Raisah Al-'Ammah li-IdaratiAl-Buhuts Al-'Ilmiah wa Al-Ifta' wa Ad-Da'wah wa Al-Irsyad, 1413 H]


copi.from.tantegoogle.


ر

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENERAPAN NILAI – NILAI PANCASILA DALAM KEHIDUPAN SEHARI – HARI

Harapan Para Tokoh di Gayo untuk Kader KAMMI Aceh Tengah

PANCASILA BAGIKU, BAGIMU, DAN BAGI KITA SEMUA